Jumat, 19 Oktober 2012

TENTANG ASAS DAN TUJUAN PERLINDUNGAN KONSUMEN

       I.            Asas dan Tujuan Hukum Perlindungan Konsumen

Sebelumnya telah disebutkan bahwa tujuan dari UU PK adalah melindungi kepentingan konsumen, dan di satu sisi menjadi pecut bagi pelaku usaha untuk meningkatkan kualitasnya. Lebih lengkapnya Pasal 3 UU PK menyebutkan bahwa tujuan perlindungan konsumen adalah:

   1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri
  2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa
   3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen
   4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi
   5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam berusaha
   6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen

Sedangkan asas-asas yang dianut dalam hukum perlindungan konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 UU PK adalah:

   1. Asas manfaat
      Asas ini mengandung makna bahwa penerapan UU PK harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding pihak lainnya. Kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.
   2. Asas keadilan
      Penerapan asas ini dapat dilihat di Pasal 4 – 7 UU PK yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku usaha. Diharapkan melalui asas ini konsumen dan pelaku usaha dapat memperoleh haknya dan menunaikan kewajibannya secara seimbang.
   3. Asas keseimbangan
      Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen, pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak ada pihak yang lebih dilindungi.
   4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen
      Diharapkan penerapan UU PK akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.
   5. Asas kepastian hukum
      Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum


    II.            Sanksi Pidana UU Perlindungan Konsumen
Masyarakat boleh merasa lega dengan lahirnya UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, namun bagian terbesar dari masyarakat kita belum tahu akan hak-haknya yang telah mendapat perlindungan dalam undang-undang tesebut, bahkan tidak sedikit pula para pelaku usaha yang tidak mengetahui dan mengindahkan UU Perlindungan Konsumen ini.
Dalam pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tersebut telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh Pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2.000.000.000,- (dan milyard rupiah) terhadap : pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut ( pasal 8 ayat 1 ), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa ( pasal 8 ayat 1 ), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar ( pasal 8 ayat 2 ), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. ( pasal 18 ayat 1 huruf b ) 2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah) terhadap : pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU no. 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, “barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” automatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, di sini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No.8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp.500 juta rupiah.

   III.            BPSK
Tugas dan Wewenang
Tugas BPSK melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi; memberikan konsultasi perlindungan konsumen; melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen; memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang atau pihak yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen; mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan / atau pemeriksaan; memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen; memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen; menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Kewenangan untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen membentuk majelis harus ganjil dan sedikit-dikitnya berjumlah anggota majelis tiga orang terdiri dari seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan seorang anggota, majelis ini terdiri mewakili semua unsur yaitu unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha serta dibantu oleh seorang panitera dan putusan majelis bersifat final dan mengikat

Pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)
BPSK dibentuk untuk menindaklanjuti terbitnya UU no 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang berlaku efektif sejak tanggal 21 April 2000. BPSK berada di bawah naungan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, sedangkan operasionalnya dibantu oleh pemerintah daerah setempat. Pengusulan pembentukan BPSK di kabupaten/kota kepada pemerintah berkoordinasi dengan provinsi dan fasilitasi operasional BPSK.15 Adapun tata cara pembentukan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah sebagai berikut : 

1. Proses Pembentukan Kelembagaan BPSK.
a. Adanya kesanggupan Kabupaten atau Kotamadya untuk pendanaan pembentukan BPSK, mulai dari perekrutan sampai dengan operasional BPSK16 yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota setempat kepada Menteri Perdagangan dan Perindustrian c.q. Ditjen Perdagangan Dalam Negeri.
b. Usulan pembentukan BPSK yang disampaikan oleh Bupati atau Walikota diproses lebih lanjut di Direktorat Perlindungan Konsumen Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Depperindag, untuk disusun Keppres tentang pembentukan BPSK bagi daerah Kabupaten atau Kota yang telah menyanggupi pembentukan BPSK.
c. Draft Keppres tentang pembentukan BPSK disampaikan Depperindag kepada Sekretaris Negara untuk disyahkan Presiden.
d. Keppres tentang pembentukan BPSK yang telah disyahkan Presiden disampaikan Depperindag kepada Bupati atau Walikota berikut permintaan calon anggota dan sekretariat BPSK yang akan diusulkan oleh Bupati atau Walikota daerah setempat.

2. Urutan Pemilihan dan Pengangkatan Anggota BPSK.
a. Bupati atau Walikota membentuk Tim Pemilihan Anggota BPSK dengan Surat Keputusan Bupati (SKB) atau Walikota
b. Anggota Tim Pemilihan dilarang untuk diusulkan menjadi anggota BPSK.
c. Tim Pemilihan.
d. Bupati atau Walikota mengajukan nama calon anggota BPSK yang berasal dari daftar calon anggota yang telah dinyatakan lulus oleh Tim Pemilih Calon Anggota BPSK Daerah kepada Menteri c.q. Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri disertai dengan persyaratan administrasi, dokumen penunjang dan berita acara pemilihan calon anggota BPSK.

Susunan dan Kedudukan BPSK.
Berdasarkan Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dinyatakan bahwa pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) di tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan. Dengan demikian, di setiap daerah tingkat II (kabupaten atau kotamadya) di Indonesia nantinya akan dibentuk dan didirikan BPSK, guna menyelesaikan sengketa konsumen di samping badan peradilan.
Oleh karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diundangkan terlebih dahulu mendahului Undang-Undang Pemerintah Daerah (UU Pemda)17 maka dalam kerangka sistem hukum nasional sesuai asas les pasietori derograt legi priori (ketentuan yang berlaku kemudian menghapus ketentuan terdahulu), maka penyebutan Daerah Tingkat II pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) diubah menjadi Daerah Kota atau Daerah Kabupaten. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) mempertanggung jawabkan pelaksanaan tugas dan wewenang meliputi bidang perdagangan. Sedangkan mengenai anggaran untuk pelaksanaan kegiatan BPSK dibebankan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta sumber-sumber lainnya yang sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku. Adapun susunan anggota Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) sebagaimana yang diatur dalam Pasal 50 UUPK, terdiri atas :
a. Ketua merangkap anggota.
b. Wakil ketua merangkap anggota.
c. Anggota.

Menurut Pasal 49 ayat (3) dan ayat (5) Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK), keanggotan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) terdiri dari tiga unsur :18
a. Unsur pemerintahan (3 orang – 5 orang).
b. Unsur konsumen (3 orang – 5 orang).
c. Unsur pelaku usaha (3 orang – 5 orang).


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 57 TAHUN 2001

Kedudukan,Tugas, dan Fungsi

Pasal 2
(1) BPKN berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia dan bertanggung jawab kepada Presiden.
(2) Apabila diperlukan BPKN dapat membentuk perwakilan di Ibukota Daerah Propinsi untuk
membantu pelaksanaan tugasnya.

Pasal 3
(1) BPKN mempunyai fungsi memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam upaya
mengembangkan perlindungan konsumen di Indonesia.
(2) Untuk menjalankan fungsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), BPKN mempunyai tugas :
a. memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan
kebijaksanaan di bidang perlindungan konsumen;
b. melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku
di bidang perlindungan konsumen;
c. melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan
konsumen;
d. mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat;
e. menyebarluaskan informasi melalui media mengenai perlindungan konsumen dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada konsumen;

Pasal 6
Pengangkatan anggota BPKN melalui tahapan sebagai berikut :
a. Menteri mengajukan usul calon anggota BPKN yang telah memenuhi persyaratan keanggotaan
BPKN kepada Presiden;
b. Calon anggota BPKN dikonsultasikan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia;
c. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap
calon anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden; dan
d. Presiden mengangkat anggota BPKN dari calon anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal 7
Pemberhentian anggota BPKN melalui tahapan sebagai berikut :
a. Menteri mengajukan usul pemberhentian anggota BPKN yang tidak lagi memenuhi persyaratan
keanggotaan BPKN kepada Presiden;
b. Usul pemberhentian anggota BPKN tersebut dikonsultasikan oleh Presiden kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia;
c. Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia memberikan pertimbangan dan penilaian terhadap
usul pemberhentian anggota BPKN dan menyampaikan hasilnya kepada Presiden; dan
d. Presiden memberhentikan anggota BPKN yang telah dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia.

1 komentar: